Matahari tinggi menjulang
diantara langit biru Kalimantan, menemani aku, amoy, dan papa yang sedang mendorong gerobak untuk mengambil gabuk di daerah yang kami sebut sirkal. Sudah
menjadi suatu kebiasaan didaerah kami untuk mengambil gabuk apabila tanah sudah
sangat turun dan sudah tidak nyaman untuk dipijaki. Siang itu, aku dan adikku
amoy duduk diatas gerobak yang didorong oleh papa menuju sirkal. Aku yang
bertubuh kecil dan amoy yang tidak jauh berbeda ukuran tubuhnya denganku duduk
sambil menatap langit biru yang dihiasi burung-burung berkerangka bambu. Entah apa
yang kami celotehkan, tapi imajinasi kami terbang kemana-mana sambil menatap
langit yang banyak diterbangi burung berkerangka bambu itu. aku yang masih
duduk dikelas tiga SD berpikir ingin sekali terbang dengan menghayalkan diri sebagai
burung berkerangka bambu. Seperti layaknya film doraemon yang setiap minggu
pagi pukul sembilan aku tonton dengan adik-adikku, aku juga ingin terbang
seperti nobita bersama baling-baling bambunya. bedanya kali ini adalah aku
terbang seperti burung berkerangka bambu yang kulihat penuh warna kala itu.
Jauh sudah imajinasiku, akhirnya kami
hampir sampai di negeri tujuan kami, sirkal. Terlihat jelas, tak jauh dari
gerobak yang masih berjalan didorong papa kami melihat para pekerja disana
sedang menghaluskan kayu dengan alat yang sungguh nyaring bunyinya ketika
menyentuh kulit kayu tersebut. Dari alat itu banyak sekali gabuk yang berjatuhan.
Entah kenapa, aku sangat menyukai bunyi alat itu. Walaupun bunyinya memekakkan
telinga, tapi aku bisa sambil tersenyum mendengarkannya.
Akhirnya kendaraanku dan amoy pun
berhenti tepat di pintu masuk pabrik kayu tersebut. Papa pun mengangkat tubuh
kami agar bediri, mengisyaratkan agar kami segera keluar dari gerobak yang
mengangkut kami tadi. sambil diiringi canda, papa dan pemilik pabrik tersebut
terlihat akrab dengan obrolannya. tak lama, papa mengambil sekop yang
tergeletak didekat pintu gerbang menandakan pengangkutan kami akan segera
dimulai. Melihat papa mengangkut gabuk dengan sekop milik pabrik tersebut,
membuat aku dan amoy pun tak mau kalah untuk mengambil gabuk dengan tangan kami.
Tak terasa gabuk yang tadi kami kumpulkan, sudah menggunung tinggi diatas
gerobak yang tak dapat aku dan amoy tumpangi lagi dikala pulang. sambil ikut
mendorong gerobak, aku dan amoy memohon untuk mampir di warung penjual gulali. tak
disangka permohonan kami kontan dikabulkan, mungkin sebagai hadiah karena telah
menemani papa di siang yang terik itu.
No comments:
Post a Comment