Saturday, December 15, 2012

Part 1/9 Gabuk Sirkal-Burung Berkerangka Bambu


Matahari tinggi menjulang diantara langit biru Kalimantan, menemani aku, amoy, dan papa yang sedang mendorong gerobak untuk mengambil gabuk di daerah yang kami sebut sirkal. Sudah menjadi suatu kebiasaan didaerah kami untuk mengambil gabuk apabila tanah sudah sangat turun dan sudah tidak nyaman untuk dipijaki. Siang itu, aku dan adikku amoy duduk diatas gerobak yang didorong oleh papa menuju sirkal. Aku yang bertubuh kecil dan amoy yang tidak jauh berbeda ukuran tubuhnya denganku duduk sambil menatap langit biru yang dihiasi burung-burung berkerangka bambu. Entah apa yang kami celotehkan, tapi imajinasi kami terbang kemana-mana sambil menatap langit yang banyak diterbangi burung berkerangka bambu itu. aku yang masih duduk dikelas tiga SD berpikir ingin sekali terbang dengan menghayalkan diri sebagai burung berkerangka bambu. Seperti layaknya film doraemon yang setiap minggu pagi pukul sembilan aku tonton dengan adik-adikku, aku juga ingin terbang seperti nobita bersama baling-baling bambunya. bedanya kali ini adalah aku terbang seperti burung berkerangka bambu yang kulihat penuh warna kala itu.
Jauh sudah imajinasiku, akhirnya kami hampir sampai di negeri tujuan kami, sirkal. Terlihat jelas, tak jauh dari gerobak yang masih berjalan didorong papa kami melihat para pekerja disana sedang menghaluskan kayu dengan alat yang sungguh nyaring bunyinya ketika menyentuh kulit kayu tersebut. Dari alat itu banyak sekali gabuk yang berjatuhan. Entah kenapa, aku sangat menyukai bunyi alat itu. Walaupun bunyinya memekakkan telinga, tapi aku bisa sambil tersenyum mendengarkannya.
Akhirnya kendaraanku dan amoy pun berhenti tepat di pintu masuk pabrik kayu tersebut. Papa pun mengangkat tubuh kami agar bediri, mengisyaratkan agar kami segera keluar dari gerobak yang mengangkut kami tadi. sambil diiringi canda, papa dan pemilik pabrik tersebut terlihat akrab dengan obrolannya. tak lama, papa mengambil sekop yang tergeletak didekat pintu gerbang menandakan pengangkutan kami akan segera dimulai. Melihat papa mengangkut gabuk dengan sekop milik pabrik tersebut, membuat aku dan amoy pun tak mau kalah untuk mengambil gabuk dengan tangan kami. Tak terasa gabuk yang tadi kami kumpulkan, sudah menggunung tinggi diatas gerobak yang tak dapat aku dan amoy tumpangi lagi dikala pulang. sambil ikut mendorong gerobak, aku dan amoy memohon untuk mampir di warung penjual gulali. tak disangka permohonan kami kontan dikabulkan, mungkin sebagai hadiah karena telah menemani papa di siang yang terik itu. 

No comments:

Post a Comment